Saya
mengenal Bernard Batubara sebagai penulis puisi. Sekitar tahun 2010,
saya membaca blognya dan menyukai puisipuisinya yang meresap ketika
dibaca, tanpa harus memahami kata atau struktur kalimat yang rumit.
Sebagai penyair muda, Bara punya kepercayaan diri yang kuat dalam
katakata yang dipilihnya. Hal ini membuat puisipuisi Bara menjadi enak
dibaca tanpa perlu bumbu yang berlebihan pada kalimatnya.
Sedikit
kaget, tahun 2011, saya mendengar Bara menulis novel yaitu Radio Galau
FM: Frekuensi Patah Hati dan Cinta yang Kandas. Namun, saya baru sempat
membaca tulisan panjang Bara yang terbit tahun 2012 yaitu Kata Hati.
Di
novel Kata Hati, saya melihat Bernard Batubara yang lain. Konflik
percintaan remaja dengan plotplot yang tidak terlalu mengesankan,
membuat saya berpikir bahwa Bara menurunkan levelnya dalam penulisan
ini. Kata Hati tentu saja bukan bacaan yang buruk. Sebagai bacaan remaja
dia layak untuk dibaca. Beberapa percakapan di novel tersebut cukup
menarik. Satu yang menjadi concern saya buat Bara, justru pada
kegenitannya menyusun kata yang layak kutip sepanjang novel.
Tahun
ini, Bara kembali meramaikan dunia perbukuan dengan menerbitkan
kumpulan cerpen yang berjudul Milana. Ini bukan hal mengejutkan
mengingat saya tahu Bara juga menulis cerpen di blognya. Saya suka
dengan cerpen Kemenangan Apuk yang Bara tulis untuk kumpulan cerpen
Singgah. Karenanya, sejak dikabarkan Bara bahwa dia sedang membuat
kumpulan cerpen ini, saya menunggu Milana keluar.
Kumpulan
cerpen Milana dikemas dengan cukup apik. Ilustrasi dan warna covernya
menarik, klasik namun tidak ketinggalan zaman. Mengingat dua kali saya
dikecewakan secara fisik oleh kumpulan cerpen terbitan Gramedia
(Perempuan yang Melukis Hujan dan Kukila), Milana nampak dibuat dengan
konsep yang lebih matang. Pemilihan hurufnya lebih bijaksana, tidak
kelihatan dibuat dengan ukuran besar untuk memenuhi halaman seperti dua
kumpulan cerpen yang sebelumnya saya sebutkan.
Dengan
15 cerpen di Milana, Bernard Batubara cukup mengejutkan saya. Tujuh
cerpen yang ditulisnya mengangkat tema yang agak berbeda dari
tulisantulisan Bara biasanya. Entah saya baru melihat sisi lain Bara
atau memang dia sedang mencoba mengeksplor tema baru, 7 cerpen yang saya
akan bahas ini mengangkat halhal gaib, mistis atau berbau kutukan. Bara
nampak tertarik mencipta mitos masyarakat pada ceritaceritanya.
Cerita
Milana yang diletakan di akhir kumpulan cerpen adalah yang paling
menarik buat saya. Usai membaca cerpen ini, saya cukup terhenyak
mengingat Jembrana bukanlah lokasi yang fiksi. Bara membuat mitos
terhadap Jembrana. Kutukan kematian berantai untuk lakilaki dan
perempuan yang berkenalan kala menatap senja di Jembrana. Sayang, plot
mengenai lelaki perekam senja yang mengawali kutukan ini terlalu kasar.
Buat saya judul Senja di Jembrana juga lebih menarik dan representatif
untuk cerpen ini ketimbang Milana yang sebenarnya tidak perlu menjadi
tokoh sentral dalam menciptakan mitos di cerita ini.
Cerpen
Cermin adalah cerita tentang kutukan yang lain. Sebuah cermin yang
menghisap jiwa orang yang bercermin di sana. Bagaimana kegilaan terhadap
fisik yang sempurna membuat Wono dan Maila terkena kutukan buruk rupa
dari cermin tersebut. Tapi kutukan cermin ini bukan hal baru, Bara pun
mengemasnya dalam setting lama, sehingga mitos yang ingin dilahirkan di
cerita ini kurang mengesankan.
Di cerpen Jung, Bara mengangkat mitos tentang anak laki dan perempuan yang lahir kembar. Entah ini mitos di mana, yang jelas memang bisa menjadi konflik yang menarik sekali untuk sebuah cerita. Sayangnya, Bara nampak terburuburu menulis cerpen ini. Kisah yang lebih panjang mungkin akan membuat mitos mengerikan ini menjadi lebih utuh dan mengejutkan.
Lain lagi di cerpen Tikungan. Di cerpen ini Bara menuliskan tentang dunia gaib yang memainkan peranan atas rentetan kecelakaan di sebuah Tikungan. Kejadian demi kejadian membuat tikungan di cerita ini menjadi keramat. Meski tidak terlalu suka dengan cara Bara menutup, namun mitos yang hendak dihidupkan di cerpen ini cukup berhasil. Tikungan menjadi cerpen kedua yang saya suka di kumpulan cerpen ini setelah Milana.
Cerpen Gua Maria dikemas dengan gaya cerita horor lama. Di cerpen ini Bara menjadikan kolam renang Gua Maria menjadi tempat yang mistis oleh kasus bunuh diri. Sebenarnya ceritanya mirip seperti asal mula hantu semacam kuntilanak atau si manis jembatan Ancol, namun fokus cerita pada kisah Suhanah dan Wanto membuat kengerian dari mitos kolam renang Gua Maria tidak terlalu hidup di bagian akhir.
Yang terakhir, Lelaki Berpayung dan Gadis yang Mencintai Hujan tidak terlalu mistis. Pertemuan seorang lelaki dengan gadis tak dikenal yang senang bermain hujan. Entah kenapa tibatiba gadis itu mengidap leukimia, yang jelas pertemuan dengan gadis kecil berikutnya yang mengajak lelaki itu menari menimbulkan korelasi yang gaib dengan gadis tak dikenal sebelumnya. Saya kurang terlalu menangkap arah fokus cerita ini.
Delapan cerpen lainnya tentu saja bertema cinta. Yang paling saya suka adalah Beberapa Adegan Yang Tersembunyi di pagi hari. Di cerpen ini Bara lebih mirip berpuisi daripada menulis cerpen. Selebihnya Lukisan Kali dan Pohon Tua, Malaikat, Surat untuk Fa, Semalam Bersama Diana Krall, Semangkuk Bubur Cikini dan Sepiring Red Velvet cukup menyenangkan untuk dibaca namun kurang mengesankan buat saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar